Jumat, 13 November 2009

REKAYASA SOSIAL:

MENDESAIN ULANG PERUBAHAN SOSIAL[1]

Oleh: Listiyono Santoso[2]

Panta-Rhei (Herakleitos)

(segala sesuatu berubah, tiada yang tetap dalam perubahan kecuali perubahan itu sendiri)

Prolog: Sebuah Kasus Awal

Mulanya biasa saja. Sebuah masyarakat di daerah terpencil pinggiran hutan di Kalimantan adalah komunitas adat yang setia terhadap warisan tradisi leluhur. Pemahaman mereka atas hutan, pohon dan tanah masih bersifat sakral dan berdimensikan transendental. Tapi sejak upaya modernisasi dari negara melalui proyek pembangunan dengan program transmigrasi, pengembangan kawasan desa hutan, pariwisata, dan apapun namanya, daerah tersebut mulai terbuka bagi masuknya arus masyarakat dari luar komunitas adat, tak terkecuali masuknya Media Televisi melalui antena parabola.

Keterbukaan masyarakat adat tersebut mulai terlihat dengan persentuhan dengan masyarakat luar yang juga membawa serta bentuk-bentuk kebudayaan; dari cara berpikir hingga perilaku. Tidak itu saja, masuknya televisi telah mampu merubah berbagai sistem nilai dan sistem makna yang terdapat dalam masyarakat terbut. Sebelum ada modernisasi (dan televisi) masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal untuk selalu bersosialisasi, berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika televisi baru memasuki desa dan jumlahnya belum seberapa, alat tersebut justru menjadi sarana yang memperkuat kebersamaan, karena tetangga yang belum mempunyai televisi boleh menumpang menonton. Namun ketika televisi semakin banyak dan hampir tiap keluarga memilikinya, maka kebersamaan itu segera berkahir, karena masing-masing keluarga melewatkan acara malam mereka di depan pesawatnya.

Tanpa disadari media telivisi telah merubah segalanya dalam struktur maupun kultur masyarakat tersebut. Peristiwa itu meminjam istilah Ignas Kleden[3] menunjukkan bahwa nilai-nilai (kebersamaan atau individualisme) dan tingkah laku (berkumpul atau bersendiri), secara langsung dipengaruhi oleh hadirnya sebuah benda materiil. Parahnya, pola kehidupan yang menghargai kebersamaan beralih menjadi individualis, sifat gotong royong tergantikan sifat pragmatisme dalam memaknai segala bentuk kebersamaan dan kerja. Taruhlah misalnya ketika memaknai tanah warisan. Jika dulu bermakna teologis, sekarang lebih dimaknai bersifat ekonomis belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat mati-matian membela tanah warisnya, sekarang tergantikan kepentingan ekonomis untuk dijual kepada pengusaha dari kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel, villa-villa, cafe-cafe dan apapun namanya mulai bermunculan di masyarakat terpencil tersebut. Lambat laun, masyarakat tersebut sudah berubah citranya secara fundamental sebagai masyarakat adat dengan kearifan lokalnya menjadi masyarakat ’pinggiran’ berwajah metropolitan dengan segenap perubahan yang ada. Sayangnya, yang diuntungkan dalam kondisi masyarakat yang demikian ternyata tidak merata. Bahkan hampir sebagian besar masyarakat tetap menjadi ’penonton’ dalam perubahan struktur maupun kultur yang terjadi.

Dalam kondisi yang demikian, apa yang seharusnya dilakukan? Membiarkan berada dalam situasi ketidakmenentuan, sehingga masyarakat adat kian tersisihkan atau tergerus oleh kepentingan ekonomis-pragmatis atau ikut serta terlibat merancang sebuah strategi perubahan sosial agar perubahan masyarakat tersebut dapat direncanakan?

perubahan Sosial: awal dari rekayasas sosial

Prolog ini merupakan catatan awal untuk memberikan suatu preskripsi bahwa perubahan sosial merupakan keniscayaan yang menimpa suatu masyarakat, seberapapun dia tersisolasi. Persoalannya bagaimana perubahan sosial tersebut dirancang dengan perencanaan, sehingga yang muncul dalam masyarakat yang berada dalam order (tatanannya); meskipun didalamnay berkelindan berbagai perubahan. Artinya; tiada masyarakat yang dapat steril dari perubahan sosial. Justru perubahan sosial memberikan suatu bukti terjadinya dinamika di dalam masyarakat tersebut. Tanpa perubahan sosial, masyarakat tersebut adalah masyarakat yang ’mati’, stagnan, tanpa dinamika.

Terdapat dua (2) bentuk perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned social change). Perubahan social yang terjadi terus menerus yang terjadi secara perlahan yang tanpa direncanakan yang biasanya diakibatkan oleh teknologi dan globalisasi. Perubahan dalam contoh di atas adalah salah satu bentuk adanya perubahan yang tidak disadari dengan hadirnya kebudayaan materiil, yakni televise. Kedua, perubahan social yang terencana (planned social change); yakni sebuah perubahan social yang didesain serta ditetapkan strategi dan tujuannya[4]. Nah, dalam kasus perubahan social di desa adapt tersebut di atas juga terjadi akibat sebuah desain matang (rekayasa social) dari Negara, misalnya melalui proyek modernisasi yang berbalut ideologi pembangunanisme (developmentalisme).

Lalu apa sesungguhnya perubahan social tersebut. Perubahan social adalah proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial[5]. Sementara Suparlan[6] menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup; sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, serta persebaran penduduk. Selain itu terdapat tiga (3) unsur penting perubahan sosial, yakni (1) sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, (2) proses perubahan, dan (3) akibat atau konsekuensi perubahan itu[7].

Menurut Jalaluddin Rahmat[8], ada beberapa penyebab terjadinya perubahan sosial. (1) bahwa masyarakat berubaha karena ideas; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai. Max Weber adalah salah satu tokoh yang percaya bahwa ideas merupakan penyebab utama terjadinya perubahan sosial. Hal ini dia perlihatkan dalam menganalisis perubahan sosial dalam masyarakat Eropa dengan semangat etik protestanismenya sehingga memunculkan spirit kapitalisme. Diakui oleh Weber bahwa ideologi ternyata berpengaruh bagi perkembangan dalam masyarakat. (2) yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam masyarakat juga terjadi dengan adanya tokoh-tokoh besar (the great individuals) yang seringkali disebut sebagai heroes (pahlawan), dan (3) perubahan sosial bisa terjadi karena munculnya social movement (gerakan sosial). Yakni sebuah gerakan yang digalang sebagai aksi sosial, utamanya oleh LSM/NGO, yayasan, organisasi sosial, dsb serta

Lebih lanjut Kang Jalal[9] menyebut bahwa dalam perubahan sosial dibutuhkan berbagai strategi yang selayaknya dilakukan melalui berbagai cara, tergantung analisis situasi atas problem sosial yang ada. (1) strategi normative-reeducative (normatif-reedukatif). Normative adalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti atuiran-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Norma tersebut termasyarakatkan lewat education, sehingga strategi normatif digandengkan denagn upaya reeducation (pendidikan ulan) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat lama dengan yang baru[10]. Cara atau taktik yang dilakukan adalah dengan mendidik, bukan sekedar mengubah perilaku yang tampak melainkan juga mengubah keyakinan dan nilai sasaran perubahan, (2) persuasive strategy (strategi persuasif). Strategi perubahan yang dilakukan melalui penggalangan opini dan pandangan masyarakat yang utamanya dilakukan melalui media massa dan propaganda. Cara yang dilakukan adalah dengan membujuk atau mempengaruhi lewat suatu bentuk propaganda ide atau hegemoni ide.(3) perubahan sosial terjadi karena revolusi atau people’s power. Revolusi dianggap sebagai puncak (jalan terakhir) dari semua bentuk perubahan sosial, karena ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial, dan mengudang gejolak dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya.

rekayasa sosial: gagasan konseptual

Berangkat dari realitas bahwa perubahan sosial tidak dapat dicegah sebagai sebuah keniscayaan sejarah, baik direncanakan maupun tidak direncanakan, tulisan ini berupaya lebih dilokalisir untuk mewacanakan perubahan sosial dengan perencanaan atau desain perubahan sosial. Istilah populernya adalah rekayasa sosial.

Istilah "rekayasa sosial (social engineering)" seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan untuk menunjuk perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual, istilah "rekayasa sosial" adalah suatu konsep yang netral yang mengandung makna upaya mendesain suatu perubahan sosial sehingga efek yang diperoleh dari perubahan tersebut dapat diarahkan dan diantisipasi. Konsep rekayasa sosial, dengan demikian, menunjuk pada suatu upaya mendesain atau mengkondisikan terjadinya perubahan struktur dan kultur masyarakat secara terencana. Rekayasa sosial (social engineering) adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang bersih, kuat, disiplin dan berbudaya. Dalam prinsip berpikir sistem, perubahan yang signifikan hanya dapat dilakukan oleh individu dan masyarakat itu sendiri, bukan menunggu peran struktur saja. Untuk membentuk struktur yang kuat, diperlukan elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir dari individu dan komunitas yang sadar/belajar secara terus menerus (the lifelong learner). Komunitas ini dapat dirancang dengan menggunakan pendekatan dan penerapan beberapa prinsip organisasi pembelajaran (learning organisation) dan berpikir sistem (system thinking) yang dirajut dan dikonstruksi dalam konsep dan metode pembelajaran primer.

Dari Problem Sosial, Unsur-Unsur Sosial hingga Aksi Sosial

Pada dasarnya rekayasa sosial hanya dapat diselenggarakan kepada masyarakat yang didalamnya terdapat sejumlah problem (sosial). Problem-problem sosial tersebut memberikan dampak bagi perjalanan panjang (dinamika) dalam masyarakat. Tapa ada problem sosial, tidak akan ada orang berpikir untuk melakukan rekayasa sosial. Artinya, problem sosial menjadi faktor utama untuk segera diatas dalam melakukan rekayasa sosial.

Problem sosial biasanya muncul akibat terjadinya kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi dalam masyarakat (das sollen) dengan kondisi yang sebenarnya terjadi (das sein). Misalnya; awalnya masyarakat berharap agar arus lalu lintas di Metropolitan Surabaya berjalan aman, tertib dan lancar. Semua pengguna jalan raya berjalan dengan mentaati aturan yang berlaku, ada atau tidak ada petuga. Sayangnya, apa yang diinginkan oleh masyarakat bertolak belakang dengan realitas yang terjadi. Betapa banyak pelanggaran lalu lintas terjadi akibat ketidaktaatan mereka pada peraturan. Akibatnya terjadi perbedaan antara yang ideal dengan realitas. Kesenjangan tersebut merupakan suatu problem sosial yang mesti segera di atasi. Itulah sebabnya, dibuatlah sebuah skenario (strategi) sebagai bagian rekayasa sosial melalui kampanye safety riding[11].

Dengan demikian, dalam melakukan rekayasa sosial, analisis atas situasi (problem sosial) dalam masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Sebab, bisa jadi tanpa analisis situasi ini sebuah rekayasa sosial akan mengalami kegagalan. Ibarat sebuah adagium salah di tingkat hulu akan berakhir fatal di tingkat hilir. Salah dalam membaca sebab musabab sehingga terlahir problem sosial akan berakibat kesalahan dalam menentukan rekayasa sosial yang dijalankannya. Tanpa pembicaraan mengenai problem sosial ini, alih-alih melakukan rekayasa sosial untuk menyelesaikan problem sosial, kita mungkin malah menambah panjang munculnya problem sosial baru. Dalam melakukan pemecahan atas problem sosial ada kalanya memang dituntut aksi sosial (aksi kolektif) yakni tindakan kolektif (bersama) untuk mengatasi problem sosial, sehingga perubahan sosial bisa digerakkan bersama sesuai dengan keinginan bersama.

Philip Kotler[12] memberikan gambaran unsur-unsur sosial dan aksi sosial yang dapat dilakukan dalam melakukan rekayasa sosial; (1) cause (sebab), yakni upaya atau tujuan sosial –yang dipercayai oleh pelaku perubahan- dapat memberikan jawaban pada problem sosial, (2) change agency (pelaku perubahan), yakni organisasi yang misi utamanya memajukan sebab sosial, (3) Change target (sasaran perubahan); individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan, (4) Channel (saluran); media untuk menyampaikan pengaruh dan dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan, dan (5) Change strategy (strategi perubahan); teknik utama untuk mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.

Sebagai catatan tambahan, dalam melakukan rekayasa sosial –hal lazim yang marak digunakan oleh LSM/NGO atau organisasi sosial- adalah melakukan analisis situasi dengan pendekatan analisis SWOT; yakni Streght (kekuatan), Weakness (kelemahan), Oppurtunity (peluang) dan Treath (ancaman). Analisis ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar kemampuan atau potensi kita dalam melakukan rekayasa sosial. Melalui analisa ini, minimal kita dapat menentukan bentuk-bentuk rekayasa sosial yang hendak dijalankan. Namun demikian, ada berbagai pendekatan dalam melakukan rekayasa sosial –tergantung dari- gaya dan prototipe masing-masing pelaku perubahan sosial sekaligus masyarakat yang akan dirancang perubahan sosialnya.

Epilog[13]

Namun demikian dalam melakukan rekayasa sosial harus dihindarkan berbagai bentuk kesalahan (asumsi) yang kemudian disebut sebagai kesesatan berpikir (fallacy). Artinya, harus dicermati dan diwaspadai juga, bahwa dalam masyarakat yang hendak dirancang rekayasa sosialnya (misal korban) masih mengendapnya berbagai bentuk pola pikir yang dapat mengganggu jalannya rekayasa sosial. Misalnya, fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melakukan over generalisasi), fallacy of Retrospektif Determinisme (kecenderungan yang menganggap bahwa masalah sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang), argumentum ad populum (kecenderungan untuk menganggap bahwa pendapat kebanyakan masyarakat sebagai kebenaran), dsb.

Rekayasa sosial akan mendapat tantangan bisa jadi bukan berasal dari pihak luar atau kelompok sosial di luar, tetapi justru dalam masyarakat yang hendak dirancang perubahan sosial; masyarakat yang menjadi korban dari kelompok kepentingan. Dus, tanpa perencanaan yang matang bisa jadi bukan keberhasilan yang diperoleh justru kitalah menjadi penyebab kian melembaganya problem sosial. Wassalam.



[1] Kumpulan huruf yang kata dan kalimat (berantakan) ini disusun dibawah tekanan dan disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Tretes, 14 April 2007

[2] Penulis (kebetulan) adalah staf pengajar ilmu filsafat Universitas Airlangga, pernah jadi orang biasa di PMII Komisariat UGM

[3] Ignas Kleden,1988, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, hal. 172

[4] Jalaluddin Rahmat, 2000, Rekayasa Sosial, Bandung Rosdakarya, hal. 45.

[5] Rogers, Everet M., 1988, Social Change in Rural Society, Englewood Cliffs, NJ, Prentice Hall, hal. 7

[6] Suparlan, Parsudi, 1986, Perubahan Sosial dalam Manusia Indonesia, Individu, Kelaurga, Keluarga dan Masyarakat,Jakarta: Akademika Pressindo, hal 114-127

[7] Sumartono sebagaimana dikutip Setyo Yuwono Sudikan, 2001, Metode Penelitian Kebudyaan, Surabaya: Citra Wacana, hal. 9

[8] Ibid, halm 46-48

[9] Ibid,hal 55-56

[10] Dalam konteks ini asumsinya sederhana bahwa tidak perubahan tanpa diawali dengan perubahan cara berpikir. Lihatlah perubahan besar dalam peradaban besar umat manusia selalu diawali dengan perubahan dari cara berpikir masyarakatnya.

[11] Bisa juga yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya bekerjasama dengan harian Jawa Pos menggelar kegiatan Surabaya Green and Clean untuk mendorong masyarakat metropolis memiliki kesadaran dalam mengelola lingkungan sekitarnya.

[12] Sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, op cit, halm. 83

[13] Sebenarnya tidak tega betrul mengakhiri naskah (berantakan) ini, karena memang belum mau diselesaikan. Tapi karena kelelahan dan jumlah maksimal halaman berlebiha, maka dipakasa lagi utnuk diselesaikan.

Rabu, 14 Oktober 2009

MARS PMII

Inilah kami wahai Indonesia

Satu barisan dan satu cita

Pembela bangsa penegak agama

Tangan terkepal dan maju kemuka

Habislah sudah masa yang suram

Selesai sudah derita yang lama

Bangsa yang jaya Islam yang benar

Bangun serentak dari bumiku subur

Reff.

Denganmu PMII pergerakanku

Ilmu dan bakti ku berikan

Adil dan makmur ku perjuangkan

Untukmu satu tanah airku

Untukmu satu keyakinanku

Inilah kami wahai Indonesia

Satu angkatan dan satu jiwa

Putera bangsa bebas merdeka

Tangan terkepal dan maju kemuka

Untuk memahami Mars PMII dibutuhkan kejelian dan kehatian-hatian, sebab selama ini menurut pemahaman penulis tidak ada kesamaan kata dalam memahami atau memaknai Mars PMII. Baik secara tersurat dalam artian tercantum dalam AD/ART maupun tersirat yakni penafsiran yang sama antara para anggota dan kader PMII. Menurut hemat penulis makna yang terkandung dalam Mars PMII pertama, sebagai spirit dan energi pergerakan dalam medan perjuangan. Artinya bait-bait yang ada dalam Mars PMII mampu menggugak kita untuk bergerak bersama rakyat dalam melawan setiap penindasan, system, rezim maupun pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat.

Kedua, simbol kebersamaan. Artinya Mars PMII menciptakan satu keinginan dari para anggota dan kader untuk bergerak bersama dalam naungan PMII. Dalam rangka melaksanakan tujuan, visi, misi dan cita-cita organisasi dan pergerakan PMII. Yakni menjadikan Indonesia yang jaya dan Islam yang benar. Benar dalam artian sesuai dengan ajaran Ahlussunah Wal Jamaah. Dengan semangat inilah yang kemudian menyatukan seluruh anggota dan kader dalam satu gerak melawan penindasan, yang kemudian diikuti oleh sebuah slogan mundur satu langkah adalah penghianatan.

Ketiga, penuntun pergerakan. Sebuah gerakan membutuhkan tuntunan, arahan dan rambu dalam bergerak. Mars sebagai penuntun pergerakan mempunyai beberapa fungsi antara lain: sebagai penuntum untuk mencapai keberhasilan pergerakan berupa visi, misi dan tujuan pergerakan. Artinya bait-bait yang ada dalam Mars PMII ini menuntun kita kepada cita-cita perjuangan dan kita diminta untuk selalu tegar dalam berjuang.

Keempat, penggugah semangat patriotisme. Dalam Mars PMII terdapat makna adanya jiwa patriotisme dan rasa nasionalisme yang besar terhadap bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia. Namun nasionalisme yang tetap berpegang teguh pada ajaran dan nilai-nilai ke-Islaman. Dalam konteks ini, Mars PMII dapat masuk dalam tipologi Nasionalis/Religius. Nasionalis/religius PMII dalam pemahaman penulis, berbeda dengan nasionalis/religius kelompok lain.

Kelima, motivator dan inspirator untuk membangun bangsa dan negara. Artinya mars PMII memberikan motivasi dan inspirasi kepada kita untuk bergerak dan bersatu bersama rakyat. Motivasi dan inspirasi ini kemudian menjadi modal yang dapat kita pergunakan dalam mencapai tujuan orgnisasi.

Keenam, peneguh keimanan. Dzikir, fikir dan amal sholeh yang merupakan motto PMII terejahwantahkan dalam bait-bait syair Mars PMII. Memberikan spirit yang luar biasa. Bahwa untuk menjadi insan yang ulul albab, diperlukan keseimbangan antara logika dan agama. Keduanya harus sejalan dan seimbang. Selain itu amal sholeh yang diartikan sebagai kesholehan pribadi dan social.

Makna Lambang PMII

Lambang PMII diciptakan oleh H. Said Budairi. Lazimnya lambang, lambang PMII memiliki arti yang terkandung di setiap goresannya. Arti dari lambang PMII bisa dijabarkan dari segi bentuknya (form) maupun dari warnanya.

Dari Bentuk : Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh luar. Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita- cita yang selalu memancar. Lima bintang sebelah atas menggambarkan Rasulullah dengan empat Sahabat terkemuka (Khulafau al Rasyidien). Empat bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhauan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sembilan Bintang sebagai jumlah bintang dalam lambang dapat diartikan ganda yakni : Rasulullah dan empat orang sahabatnya serta empat orang Imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia. Atau sembilan orang pemuka penyebar agama Islam di Indonesia yang disebut WALISONGO.

Dari Warna : Biru, sebagaimana warna lukisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan. Biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara. Biru muda, sebagaimana warna dasar perisai sebelah bawah, berarti ketinggian ilmu pengertahuan, budi pekerti dan taqwa. Kuning, sebagaimana warna dasar perisai- perisai sebelah bawah, berarti identitas kemahasiswaan yang menjadi sifat dasar pergerakan lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.

Kamis, 30 Oktober 2008

Makna Filosofi PMII

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia” .
Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.
Tujuan didirikannya PMIISecara totalitas PMII sebagai suatu organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan merubah kondisi sosial di Indonesia yang dinilai tidak adil, terutama dalam tatanan kehidupan sosial. Selain itu juga melestarikan perbedaan sebagai ajang dialog dan aktualisasi diri, menjunjung tinggi pluralitas, dan menghormati kedaulatan masing-masing kelompok dan individu.
Dalam lingkup yang lebih kecil PMII mencoba menciptakan kader yang memiliki pandangan yang luas dalam menghadapi realitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Memiliki pemahaman yang komprehensif tentang berbagai macam paham pemikiran yang digunakan dalam menganalisa realitas yang ada, sehingga diharapkan seorang kader akan mampu memposisikan diri secara kritis dan tidak terhegemoni oleh suatu paham atau ideologi yang dogmatis

Sekilas tentang PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau disingkat PMII, merupakan satu dari elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan bangsa Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 60-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Diantara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politisi legendaris). Sedangkan untuk PMII Komisariat Gadjah Mada sendiri didirikan pada tahun 1990 diantaranya oleh A. Muhaimin Iskandar

Independensi PMII


Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Historisitas PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
3. Pisahnya NU dari Masyumi.
4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.
Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahsiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
2. M. Said Budairy (Jakarta)
3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4. Makmun Syukri (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. Ismail Makki (Yogyakarta)
7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
9. Laily Mansyur (Surakarta)
10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
12. M. Kholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan l
ainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.